Sayembara Pohon Jati
Di sebuah desa yang asri di Tegal, hiduplah seorang pemimpin bijaksana bernama Ki Gede Sebayu. Ia memiliki dua orang anak, yaitu Raden Hanggawana dan seorang putri yang sangat cantik bernama Ni Ken Subaleksana. Kecantikan Ni Ken Subaleksana begitu tersohor hingga banyak adipati dan pangeran ingin menikahinya.
Namun, Ki Gede Sebayu bingung. Ia ingin mendapatkan menantu terbaik untuk putrinya. Oleh karena itu, pada sepertiga malam, ia berdoa kepada Allah memohon petunjuk.
Keesokan harinya, Ki Gede Sebayu mengumumkan sebuah sayembara.
“Barang siapa yang bisa menebang pohon jati di utara pohon beringin kembar, dia akan menjadi menantuku!” seru Ki Gede Sebayu kepada orang-orang di desanya.
Berita itu segera menyebar ke seluruh negeri. Banyak adipati dan pangeran datang ke Tegal untuk mengikuti sayembara. Mereka mendirikan tenda hingga jumlahnya mencapai selawe atau dua puluh lima. Oleh karena itu, tempat tersebut kemudian dikenal sebagai Slawi, ibu kota Kabupaten Tegal.
Satu per satu peserta mencoba menebang pohon jati raksasa itu. Mereka menggunakan kapak, pedang, bahkan senjata sakti. Namun, mereka hanya mampu membabak atau menyayat kulit pohon jati tersebut. Anehnya, dari sayatan itu keluar darah merah pekat! Banyak peserta yang kelelahan dan akhirnya pingsan.
Di tengah hiruk-pikuk sayembara, datanglah seorang pemuda bernama Ki Jadhug. Ia berasal dari Dukuh Sigeblag, Desa Slarang Kidul. Namun, sebenarnya ia bukan orang biasa. Ia adalah Pangeran Purbaya, putra dari Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram Islam. Ia menyamar sebagai santri dan datang ke Tegal dalam misi penting.
Ki Jadhug maju ke hadapan Ki Gede Sebayu.
“Dengan izin Allah, aku akan mencoba menebang pohon jati ini,” katanya dengan penuh keyakinan.
Ia menutup mata dan berdoa dengan khusyuk. Lalu, ia merapal ajian Bala Demit Seketi. Tiba-tiba, angin kencang bergemuruh! Orang-orang menutup mata karena debu beterbangan. Dan dalam sekejap, pohon jati itu tumbang hingga akar-akarnya tercabut!
Semua orang tercengang! Ki Gede Sebayu pun menepati janjinya.
“Wahai Ki Jadhug, engkau telah memenangkan sayembara. Kini, engkau menjadi menantuku dan suami dari Ni Ken Subaleksana,” ujar Ki Gede Sebayu dengan gembira.
Pernikahan mereka pun berlangsung meriah. Kayu dari pohon jati yang tumbang itu digunakan untuk membangun soko guru Masjid Agung Kalisoka, tempat tinggal Ki Gede Sebayu.
Sejak saat itu, daerah tempat para ksatria gagal menebang pohon jati dikenal sebagai Dukuh Babakan yang berasal dari kata “babakan” yang berarti menyayat kulit pohon.*